Saturday, June 22, 2013

Antihistamin, Kortikosteroid dan Dekongestan untuk Rhinitis Alergi



Antihistamin
Antihistamin adalah antagonis reseptor H1 yang akan menghalangi bersatunya histamine dengan reseptor H1 yang terdapat di ujung saraf dan epitel kelenjar pada mukosa hidung. Akhir-akhir ini antihistamin didefenisikan sebagai inverse h1-receptor agonist yang menstabilkan reseptor H1 yang inaktif sehingga aktifasi oleh histamine dapat dicegah. Dengan demikian obat ini efektif untuk menghilangkan gejala rinore dan bersin sebagai akibat dilepaskannya histamine pada RA (Lumbanraja, 2007).
Gambar 2. Target-target terapi rinitis alergika.
Saat ini antihistamin (AH1) yang beredar di pasaran adalah generasi pertama dan kedua. AH1 generasi kedua sudah mulai menggeser kepamoran generasi pertama karena memiliki banyak kelebihan. Perbedaan menonjol di antara keduanya terletak pada kemampuan menembus sawar darah otak dan selektivitas/spesifisitas. AH1 generasi kedua bersifat lipofobik sehingga kurang mampu menembus sawar darah otak, yang akhirnya mengakibatkan penurunan efek sedasi. Di samping itu, generasi kedua lebih selektif sehingga tidak mempengaruhi reseptor fisiologik yang lain seperti muskarinik dan adrenergic alfa (Raudhah dan Alfred, 2009).
Kelebihan lain generasi dua adalah mempunyai efek antialergi dan antiinflamasi. Dikatakan antialergi karena dapat menghambat pelepasan histamin, prostaglandin, kinin, dan leukotrien. Sedangkan antiinflamasi dikarenakan dapat mengurangi ekspresi ICAM-1 pada epitel konjungtiva (Raudhah dan Alfred, 2009).

Kortikosteroid
Kortikosteroid adalah obat antiinflamasi yang kuat dan berperan penting dalam pengobatan RA. Penggunaan secara sistemik dapat dengan cepat mengatasi inflamasi yang akut sehingga dianjurkan hanya untuk penggunaan jangka pendek yakni pada gejala buntu hidung yang berat. Gejala buntu hidung merupakan gejala utama yang paling sering mengganggu penderita RA yang berat. Pada kondisi akut kortikosteroid oral diberikan dalam jangka pendek 7-14 hari dengan tapering off, tergantung daari respon pengobatan (Lumbanraja, 2007).
Berdasarkan pemakaiannya, kortikosteroid dibagi menjadi 2 yaitu topikal dan sistemik. Kortikosteroid topikal menjadi pilihan pertama untuk penderita rinitis alergi dengan gejala sedang sampai berat dan persisten (menetap), karena mempunyai efek antiinflamasi jangka panjang. Kortikosteroid topikal efektif mengurangi gejala sumbatan hidung yang timbul pada fase lambat. Efek spesifik kortikosteroid topikal antara lain menghambat fase cepat dan lambat dari rinitis alergi, menekan produksi sitokin Th2, sel mast dan basofil, mencegah switching dan sintesis IgE oleh sel B, menekan pengerahan lokal dan migrasi transepitel dari sel mast, basofil, dan eosinofil, menekan ekspresi GMCSF, IL-6, IL-8, RANTES, sitokin, kemokin, mengurangi jumlah eosinofil di mukosa hidung dan juga menghambat pembentukan, fungsi, adhesi, kemotaksis dan apoptosis eosinofil 1 (Raudhah dan Alfred, 2009).
Studi meta-analisis oleh Weiner JM dkk, seperti dilansir dari British Medical Journal 1998, menyimpulkan bahwa kortikosteroid intranasal lebih baik digunakan sebagai terapi lini pertama rinitis daripada antihistamin, ditilik dari segi keamanan dan cost-effective-nya. Kortikosteroid sistemik hanya digunakan untuk terapi jangka pendek pada penderita rinitis alergi berat yang refrakter terhadap terapi pilihan pertama (Raudhah dan Alfred, 2009).

Dekongestan             
Dekongestan dapat mengurangi sumbatan hidung dan kongesti dengan cara vasokonstriksi melalui reseptor adrenergik alfa. Preparat topikal bekerja dalam waktu 10 menit, dan dapat bertahan hingga 12 jam. Efek samping adalah rasa panas dan kering di hidung, ulserasi mukosa, serta perforasi septum. Takifilaksis dan gejala rebound (rinitis medikamentosa) dapat terjadi pada pemakaian dekongestan topikal jangka panjang. Efek terapi dari preparat oral dirasakan setelah 30 menit dan berakhir 6 jam kemudian, atau dapat lebih lama (8-24 jam) bila bentuk sediaanya adalah tablet lepas lambat (sustained release). Efek samping berupa iritabilitas, pusing melayang (dizziness), sakit kepala, tremor, takikardi, dan insomnia (Raudhah dan Alfred, 2009).

3 comments:

  1. apa bisa antihistamin dikonsumsi dengan kortikosteroid, trimakasih??

    ReplyDelete
  2. apa bisa antihistamin dikonsumsi dengan kortikosteroid, trimakasih??

    ReplyDelete
  3. Nice post. I learn some thing tougher on distinct blogs everyday. Most commonly it is stimulating to learn to read content from other writers and exercise a specific thing there. I’d would rather use some together with the content in my weblog no matter whether you don’t mind. Natually I’ll provide you with a link in your web weblog. Many thanks for sharing. men's health

    ReplyDelete