Sunday, June 1, 2014

Pengobatan Konstipasi yang Tepat

Pada pasien dengan konstipasi, tujuan utama terapi adalah untuk mengidentifikasi dan mengobati penyebab sekunder, mengurangi gejala, serta mengembalikan fungsi normal usus (Chisholm-Burns et al., 2008). Tindakan umum yang diyakini bermanfaat dalam mengatasi konstipasi  adalah modifikasi diet untuk meningkatkan jumlah serat yang dikonsumsi tiap hari, olahraga, penyesuaian pola buang air besar sehingga teratur dan waktu yang memadai dibuat untuk merespon dorongan untuk buang air besar, dan meningkatkan asupan cairan. Jika yang mendasari penyebab konstipasi adalah penyakit lain, maka lakukan upaya untuk menyembuhkannya. Gangguan GI yang berbahaya bisa dihilangkan melalui bedah reseksi. Penyakit pada endokrin dan metabolik harus ditangani dengan metode yang tepat. Obat yang berpotensi menyebabkan konstipasi harus diidentifikasi dan dipertimbangkan diganti dengan agen lainnya. Jika tidak ada alternatif yang rasional untuk menggantinya, maka dapat dipertimbangkan untuk menurunkan dosis dari obat tersebut (Dipiro et al., 2008).
Satu atau lebih laksatif dapat diberikan untuk mengobati gejala. Jika dalam 1 minggu pengobatan swamedikasi gejala yang dirasakan pasien tidak menghilang, maka  pasien harus dirujuk ke dokter. Jika apoteker merasa bahwa pasien hanya perlu diberikan saran diet, maka akan masuk akal untuk melihat terlebih dahulu keadaan pasien sekitar 2 minggu untuk melihat apakah konstipasi menetap sebelum pasien dirujuk ke dokter (Blenkinsopp et al., 2009).

Sebelum memulai terapi, pasien harus ditanyakan tentang frekuensi pergerakan usus dan tingkat keparahan konstipasi. Pasien juga  harus berhati-hati dalam menjawab pertanyaan yang berkaitan tentang kebiasaan diet dan regimen laksatif yang dikonsumsi. Pasien juga harus ditanyakan dengan seksama tentang kebiasaan diet dan regimen pencahar yang diterima. Ditanyakan apakah pasien memiliki diet tetap dengan mengurangi makanan yang  berserat tinggi, terutama yang berserat halus serta obat pencahar (laksatif atau katartik) apa yang pernah dicoba oleh pasien untuk menghilangkan konstipasi/sembelitnya. Selain itu, pasien juga harus ditanyakan tentang kombinasi pengobatan yang dilakukan secara bersamaan, yang mungkin dapat menyebabkan sembelit (Dipiro et al., 2008).
Dasar dari perawatan dan pencegahan konstipasi harus terdiri dari usaha pemberian agen yang membentuk bulk disamping modifikasi diet untuk meningkatkan serat. Untuk beberapa penderita konstipasi akut yang tidak dirawat di rumah sakit, penggunaan produk laksatif dapat diterima. Namun sebelum pasien diberikan laksatif ataupun katartik yang lebih poten, sebaiknya dicobakan terlebih dahulu langkah-langkah pengobatan yang lebih sederhana. Misalnya, konstipasi akut dapat dihilangkan dengan penggunaan tap-water enema (agen yang menyebabkan terjadinya pemasukan air ke dalam usus atau kolon melalui anus untuk merangsang buang air besar)  atau suppositoria gliserin. Jika tidak efektif, penggunaan sorbitol oral, bisakodil atau senna dalam dosis rendah atau saline laksatif (misalnya susu magnesium) dapat diberikan sebagai pembantu perawatan. Jika pengobatan laksatif diperlukan untuk lebih dari 1 minggu, orang tersebut dianjurkan untuk berkonsultasi dengan dokter untuk menentukan apakah ada penyebab lain yang mendasari konstipasi sehingga diperlukan pengobatan dari agen lain selain laksatif (Dipiro et al., 2008).
Modifikasi gaya hidup perlu dilakukan sebelum penggunaan laksatif pada konstipasi. Konstipasi biasanya berhubungan dengan rendahnya asupan serap, kurangnya cairan dan olahraga. Peningkatan konsumsi serat seperti kacang-kacangan, biji-bijian, sereal, buah-buahan segar dan sayuran seperti asparagus, kol dan wortel sebanyak 20-35 gram/hari dan menghindari konsumsi makanan yang rendah serat seperti keju dan es krim. Asupan cairan yang cukup juga penting (6-8 gelas perhari). Berjalan atau latihan aerobik lain dapat membantu melatih otot di daerah abdominal yang mendorong propulsi dalam usus. Selain itu, pasien sebaiknya membiasakan untuk tidak menunda keinginan untuk buang air besar (Chisholm-Burns et al., 2008).
 

No comments:

Post a Comment