Sunday, June 1, 2014

Praktikum penetapan kadar albumin dengan metode biuret



I.                   Tujuan Praktikum
Mengetahui kadar albumin dalam serum dengan metode biuret

II.                Metode
Penetapan total protein dalam serum dilakukan dengan memisahkan albumin terlebih dahulu dari serum dengan menggunakan natrium sulfit 25% dan ether. Setelah dipusingkan diambil larutan bagian bawah yang mengandung albumin kemudian ditambahkan pereaksi biuret dimana di dalam pereaksi biuret terkandung K-Na-Tartrat, CuSO4 dan NaOH yang akan menghasilkan senyawa kompleks berwarna ungu. Warna ungu dari kompleks inilah yang akan diukur serapan cahayanya dengan spektrofotometer dimana kepekatan warna ungu akan menunjukkan konsentrasi protein dalam sampel.

III.             Prinsip
Prinsip penetapan kadar albumin dalam serum dengan metode Biuret adalah pengukuran serapan cahaya kompleks berwarna ungu dari albumin yang bereaksi dengan pereaksi biuret dimana, yang membentuk kompleks adalah protein dengan ion Cu2+ yang terdapat dalam pereaksi biuret dalam suasana basa. Semakin tinggi intensitas cahaya yang diserap oleh alat maka semakin tinggi pula kandungan protein yang terdapat di dalam serum tersebut.


IV.             Dasar Teori
Protein berasal dari kata Yunani kuno proteos yang artinya “yang utama”. Dari asal kata ini dapat diambil kesimpulan bagaimana pentingnya protein dalam kehidupan. Protein terdapat pada semua sel hidup, kira-kira 50% dari berat keringnya dan berfungsi sebagai pembangun struktur, biokatalis, hormon, sumber energi, penyangga racun, pengatur pH, dan bakan sebagai pembawa sifat turunan dari generasi ke generasi (Girindra, 1993).
Protein merupakan polipeptida berbobot molekul tinggi. Protein sederhana hanya mengandung asam-asam amino. Protein kompleks mengandung bahan tambahan bukan asam amino, seperti derivat vitamin, lipid atau karbohidrat. Protein berperan pokok dalam fungsi sel. Analisis terhadap protein dan enzim darah tertentu digunakan secara luas untuk tujuan diagnostik (Harper, 1995).
Protein yang akan digunakan adalah plasma, dimana protein plasma yang beredar di dalam tubuh adalah albumin, globulin, fibrinogendan terdapat sejumlah kecil dalam enzim, protein struktural dan metabolisme. Fungsi protein plasma adalah keseimbangan osmotic, pembentukan dan nutrisi jaringan, transportasi, dan daya tahan tubuh
Albumin dapat ditetapkan kadarnya dengan metode biuret. Prinsip dari metode biuret ini adalah ikatan peptida dapat membentuk senyawa kompleks berwarna ungu dengan penambahan garam kupri dalam suasana basa (Carprette, 2005).
Reaksi biuret terdiri dari campuran protein dengan sodium hidroksida (berupa larutan) dan tembaga sulfat. Warna violet adalah hasil dari reaksi ini. Reaksi ini positif untuk 2 atau lebih ikatan peptida (Harrow, 1954).
Penyerapan cahaya oleh protein disebabkan oleh ikatan peptida residu ritosil, triptofonil, dan fenilalanin. Juga turut dipengaruhi oleh gugus-gugus non-protein yang mempunyai sifat menyerap cahaya. Penyerapan maksimum albumin serum manusia terlihat pada panjang gelombang kira-kira 230 nm (peptida) dan dengan puncak lebar pada 280 nm karena serapan residu-residu asam amino aromatik. Spektrum absorbansi suatu larutan protein berfariasi tergantung pada pH dan sesuai denagn ionisasi residu sama amino (Montgomery, 1993).
Kerugian dari metode ini adalah hasil penetapannya tidak murni menunjukkan kadar protein, melainkan bisa saja kadar senyawa yang mengandung benzena, gugus fenol, gugus sulfhidrin, ikut terbaca kadarnya. Selain itu, waktu penetapan yang dipergunakan juga lama, sehingga sering kali kurang effektif (Lehninger, 1982).

V.                Alat dan Bahan
a. Alat
§  Tabung reaksi
§  Rak tabung reaksi
§  Pipet tetes
§  Pipet mikro
§  Sentrifugator
§  Spektrofotometer UV-Vis

b.  Bahan
§  Larutan Natrium Sulfit 25%
§  Serum/plasma
§  Ether
§  Pereaksi Biuret
§  Aquadest

VI.             Cara Kerja
1.    Disiapkan tabung reaksi yang telah diisi 2 mL larutan Natrium Sulfit 25%
2.    Ke dalam tabung tersebut dipipetkan 0,2 mL serum/plasma, 2 mL ether dan dicampur
3.    Tabung dipusingkan dengan sentrifugator
4.    Selanjutnya ether dan larutan protein (larutan bagian atas terdiri dari protein dan ether) dikeluarkan dengan penghisap
5.    Tabung dimiringkan lalu cairan bagian atas diambil dengan pipet mikro melalui dinding tabung.
6.    Larutan yang tersisa adalah larutan yang mengandung albumin (larutan ini yang kemudian akan dimasukkan ke dalam tabung reaksi tes).
7.    Disiapkan 3 tabung reaksi dan masing-masing diberi label larutan test, larutan standar dan blanko kemudian dimasukkan campuran seperti pada tabel di bawah ini:

Tes
Standar
Blanko
Pereaksi Biuret, mL
1,0
1,0
1,0
Larutan albumin, mL
1,0
-
-
Standar, mL
-
1,0
-
Aquadest, mL
-
-
1,0
           
8.    Campuran tersebut ditangguhkan selama 14-30 menit, lalu dibaca dalam spektrofotometer pada panjang gelombang 540-546
9.    Rentang normal untuk kadar albumin dalam serum adalah 0,5-1,2 gram/dL

VII.          Hasil
·         Absorbansi standar dari panjang gelombang 540-546 nm :
Tabung
Absorbansi
Standar
0,812
Tes (uji Ari Pramita)
0,156

·         Perhitungan : Dt/ Dst x kadar albumin standar
Kadar albumin             =
=
= 0,7685 g

VIII.       Pembahasan
Pada percobaan kali ini dilakukan penetapan kadar albumin dengan metode Biuret dengan menggunakan spektrofotometer. Dimana prinsip dari metode ini adalah pengukuran serapan cahaya kompleks berwarna ungu dari protein yang bereaksi dengan pereaksi biuret dimana, yang membentuk kompleks adalah protein dengan ion Cu2+ yang terdapat dalam pereaksi biuret dalam suasana basa. Semakin tinggi intensitas cahaya yang diserap oleh alat maka semakin tinggi pula kandungan albumin yang terdapat di dalam serum tersebut.
Dalam pereaksi biuret terkandung 3 macam reagen yaitu reagen yang pertama adalah CuSO4 dalam aquadest dimana reagen ini berfungsi sebagai penyedia ion Cu2+ yang nantinya akan membentuk kompleks dengan protein. Reagen yang kedua adalah K-Na-Tartrat yang berfungsi untuk mencegah terjadinya reduksi pada Cu2+ sehingga tidak mengendap. Reagen yang ketiga adalah NaOH dimana fungsinya adalah membuat suasana basa. Suasana basa akan membantu pembentukan Cu(OH)2 yang nantinya akan menjadi Cu2+ dan 2OH-.
Pada tabung dimasukkan Natrium slfit 25% sebnyak 2 mL ini kemudian dimasukkan sampel plasma 0,2 mL dan 2 mL kemudian dikocok kuat. Penambahan natrium sulfit dan ether ini adalah berguna untuk memisahkan antara albumin dengan protein plasma lainnya seperti globulin, fibrinogen dan lain-lain. Selanjutnya didiamkan hingga terbentuk 2 lapisan cairan, lapisan atas terdiri dari ether dan protein plasma lainnya. Sedangkan bagian bawah mengandung albumin sehingga lapisan bagian atas dibuang dan lapisan bagian bawah kemudian ditambahkan dengan pereaksi biuret dan dikocok.
Pada saat sampel dikocok, jangan sampai menimbulkan buih karena akan mempengaruhi pengukuran absorbansi. Dan setelah ditetesi pereaksi biuret, sampel didiamkan selama 14-30 menit. 30 menit ini merupakan operating time yaitu waktu yang dibutuhkan agar seluruh reaktan/protein bereaksi seluruhnya dengan reagen. Setelah 30 menit, maka sampel diukur absorbansinya dengan alat spektrofotometer dengan panjang gelombang 540-546 nm. Panjang gelombang 540 nm merupakan panjang gelombang serapan maksimum untuk warna ungu. Reaksi yang terjadi pada penetapan kadar protein dengan metode Biuret adalah :
CuSO4.5H2O + 2NaOH                       Cu(OH)2+Na2SO4+5H2O
Cu(OH)2                      Cu2+  +  2OH-

           










Setelah dilakukan pengukuran terhadap standar dan tes didapatkan absorbansi larutan standar adalah 0,812 dan absorbansi larutan test adalah 0,156. Perhitungan kadar albumin dalam serum dilakukan dengan menggunakan rumus :
Kadar Albumin total          = Dt/ Dst x kadar albumin standar
Sehingga didapatkan hasil kadar albumin dalam serum adalah 0,7685 gr% atau 0,7685 gr/dL. Kadar ini berada di rentang kadar normal yaitu 0,5-1,2 gram/dL. Hal ini menunjukkan bahwa kadar albumin dalam plasma adalah normal

IX.             Kesimpulan
Kadar total albumin dalam plasma adalah 0,7685 gr% atau 0,7685 gr/dL, kadar ini berada di rentang normal (0,5-1,2 gram/dL).

Pengobatan Konstipasi yang Tepat

Pada pasien dengan konstipasi, tujuan utama terapi adalah untuk mengidentifikasi dan mengobati penyebab sekunder, mengurangi gejala, serta mengembalikan fungsi normal usus (Chisholm-Burns et al., 2008). Tindakan umum yang diyakini bermanfaat dalam mengatasi konstipasi  adalah modifikasi diet untuk meningkatkan jumlah serat yang dikonsumsi tiap hari, olahraga, penyesuaian pola buang air besar sehingga teratur dan waktu yang memadai dibuat untuk merespon dorongan untuk buang air besar, dan meningkatkan asupan cairan. Jika yang mendasari penyebab konstipasi adalah penyakit lain, maka lakukan upaya untuk menyembuhkannya. Gangguan GI yang berbahaya bisa dihilangkan melalui bedah reseksi. Penyakit pada endokrin dan metabolik harus ditangani dengan metode yang tepat. Obat yang berpotensi menyebabkan konstipasi harus diidentifikasi dan dipertimbangkan diganti dengan agen lainnya. Jika tidak ada alternatif yang rasional untuk menggantinya, maka dapat dipertimbangkan untuk menurunkan dosis dari obat tersebut (Dipiro et al., 2008).
Satu atau lebih laksatif dapat diberikan untuk mengobati gejala. Jika dalam 1 minggu pengobatan swamedikasi gejala yang dirasakan pasien tidak menghilang, maka  pasien harus dirujuk ke dokter. Jika apoteker merasa bahwa pasien hanya perlu diberikan saran diet, maka akan masuk akal untuk melihat terlebih dahulu keadaan pasien sekitar 2 minggu untuk melihat apakah konstipasi menetap sebelum pasien dirujuk ke dokter (Blenkinsopp et al., 2009).

Sebelum memulai terapi, pasien harus ditanyakan tentang frekuensi pergerakan usus dan tingkat keparahan konstipasi. Pasien juga  harus berhati-hati dalam menjawab pertanyaan yang berkaitan tentang kebiasaan diet dan regimen laksatif yang dikonsumsi. Pasien juga harus ditanyakan dengan seksama tentang kebiasaan diet dan regimen pencahar yang diterima. Ditanyakan apakah pasien memiliki diet tetap dengan mengurangi makanan yang  berserat tinggi, terutama yang berserat halus serta obat pencahar (laksatif atau katartik) apa yang pernah dicoba oleh pasien untuk menghilangkan konstipasi/sembelitnya. Selain itu, pasien juga harus ditanyakan tentang kombinasi pengobatan yang dilakukan secara bersamaan, yang mungkin dapat menyebabkan sembelit (Dipiro et al., 2008).
Dasar dari perawatan dan pencegahan konstipasi harus terdiri dari usaha pemberian agen yang membentuk bulk disamping modifikasi diet untuk meningkatkan serat. Untuk beberapa penderita konstipasi akut yang tidak dirawat di rumah sakit, penggunaan produk laksatif dapat diterima. Namun sebelum pasien diberikan laksatif ataupun katartik yang lebih poten, sebaiknya dicobakan terlebih dahulu langkah-langkah pengobatan yang lebih sederhana. Misalnya, konstipasi akut dapat dihilangkan dengan penggunaan tap-water enema (agen yang menyebabkan terjadinya pemasukan air ke dalam usus atau kolon melalui anus untuk merangsang buang air besar)  atau suppositoria gliserin. Jika tidak efektif, penggunaan sorbitol oral, bisakodil atau senna dalam dosis rendah atau saline laksatif (misalnya susu magnesium) dapat diberikan sebagai pembantu perawatan. Jika pengobatan laksatif diperlukan untuk lebih dari 1 minggu, orang tersebut dianjurkan untuk berkonsultasi dengan dokter untuk menentukan apakah ada penyebab lain yang mendasari konstipasi sehingga diperlukan pengobatan dari agen lain selain laksatif (Dipiro et al., 2008).
Modifikasi gaya hidup perlu dilakukan sebelum penggunaan laksatif pada konstipasi. Konstipasi biasanya berhubungan dengan rendahnya asupan serap, kurangnya cairan dan olahraga. Peningkatan konsumsi serat seperti kacang-kacangan, biji-bijian, sereal, buah-buahan segar dan sayuran seperti asparagus, kol dan wortel sebanyak 20-35 gram/hari dan menghindari konsumsi makanan yang rendah serat seperti keju dan es krim. Asupan cairan yang cukup juga penting (6-8 gelas perhari). Berjalan atau latihan aerobik lain dapat membantu melatih otot di daerah abdominal yang mendorong propulsi dalam usus. Selain itu, pasien sebaiknya membiasakan untuk tidak menunda keinginan untuk buang air besar (Chisholm-Burns et al., 2008).